Latar Belakang
Lahan akan berfungsi maksimal dan
dapat dimanfaatkan secara berlanjutan apabila keadaannya dalam keadaan yang seimbang.
Namun, kenyatannya beberapa komponen lahan banyak yang fungsinya sudah tidak
optimal dan mengalami penurunan kualitas. Degradasi tersebut di sebabkan oleh banyak
factor, baik faktor alami maupun aktivitas
manusia. Faktor alam yang menyebabkan degradasi lahan relatif kecil dan
biasanya terjadi di hutan. Namun, aktivitas manusia lebih banyak menyebabkan
degradasi baik di lahan pertanian, hutan, maupun pertambangan.
Degradasi lahan pada umumnya
diawali oleh pengalihan fungsi hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman, maupun
pertambangan. Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang memiliki siklus yang
seimbang, antara lain siklus unsur hara dan siklus hidrologi. Selain itu, hutan
memiliki tajuk yang berlapis yang menjaga tanah dari erosi. Ketika terjadi
pengalihan fungsi hutan, dilakukan akibatnya, pelapukan menjadi lebih cepat
karena peningkatan suhu bahkan lebih cepat daripada masukan bahan organik.
Selain itu, tanah langsung terkena air hujan yang dapat menyebabkan rusaknya
agregat tanah dan berpotensi terjadi erosi. Solusi yang dapat ditawarkan adalah
penghutanan kembali, namun hal tersebut sulit terwujud karena desakan
kepentingan manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Oleh karena itu, alih
fungsi hutan tetap saja menjadi akar masalah degradasi lahan.
Penurunan kualitas hutan bukan
hanya karena pembukaan lahan, bahkan hutan alami yang belum terbuka sekalipun masih
mungkin terjadi degradasi karena faktor alam, misalnya longsor yang terjadi
karena lereng yang sangat curam. Lahan pertanian juga memiliki kemungkinan
degradasi apabila tidak disertai kaidah konservasi dalam kegiatan usaha tani
yang dilakukan. Degradasi lahan pertanian dapat berupa degaradasi fisik, kimia,
maupun biologi. Lahan pertambangan pun memungkinkan terjadi degradasi yang lebih
lanjut baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Sehingga, konsentrasi dalam
mengkonservasi lahan tidak hanya dapat dicurahkan terhadap hutan saja melainkan
juga lahan pertanian dan pertambangan.
Meskipun demikian, bukan berarti lahan yang telah beralih fungsi dari hutan
menjadi peretanian atau pertambangan pasti buruk. Walaupun mengalami penurunan
kualitas, bila kegiatan pertanian atau pertambangan dilakukan dengan
memperhatikan kaidah konservasi maka penurunan kualitas lahan dapat
diminimalisir
penurunan fungsi lahan yang terjadi di hutan, lahan pertanian,
maupun pertambangan, disebabkan banyak faktor berdasarkan penggunaan lahan dan
solusinya adalah sebagai berikut.
1. Degradasi lahan pada hutan
hutan dapat dikatakan memiliki
ekosistem yang seimbang dimana interaksi antar komponen baik biotik maupun
abiotik terjadi dalam siklus yang tertutup. Interaksi tersebut menunjukkan
bahwa selama keseimbangan dalam hutan tidak terjadi pergeseran, maka kualitas
hutan juga tidak akan mengalami penurunan. Namun, degradasi hutan dapat terjadi
meskipun tidak dilakukan pembukaan hutan. Hal tersebut dikarenakan beberapa
faktor yang alami. Terlebih deforestasi sudah terjadi, maka penurunan kualitas
hutan akan terjadi pula. Berikut adalah faktor yang menyebabkan degradasi
hutan.
a. Erosi
Erosi
di hutan alami dapat terjadi karena faktor alam, yaitu curah hujan tinggi,
kelerengan, serta keadaan tanah. Erosi akan membawa material halus untuk
diendapkan pada daerah yang lebih rendah. Oleh karena itu, daerah yang terkena
erosi akan mengalami penurunan kualitas lahan.
b. Longsor
Longsor yang terdapat di hutan disebabkan oleh faktor alami,
yaitu kemiringan lereng yang tajam, perubahan pola hujan, komposisi mineralogi,
sistem hidrologi, serta gempa bumi dan letusan gunung berapi. Longsor yang
terjadi akan memindahkan tanah dan material yang terkandung di dalamnya,
sehingga lahan yang mengalami longsor akan terdegradasi.
c. Kebakaran hutan
Kebakaran hutan jelas merugikan tidak hanya lingkungan biotik dan abiotik yang
ada di dalamnya, melainkan juga lingkungan di luar hutan. Dampak kebakaran
hutan terhadap lingkungan di dalamnya antara lain terganggunya keanekaragaman
hayati baik di atas permukaan maupun di dalam tanah, penurunan kesuburan tanah
karena seresah dan bahan organik yang ada dipermukaan turut terbakar, tanah
mengalami kekeringan dan berpotensi terjadi pemadatan khususnya di lapisan
atas. Sedangkan dampaknya terhadap lingkungan di luar hutan antara lain
pencemaran yang berdampak pada kesehatan manusia dan ternak, serta terganggunya
transportasi karena asap. Ketiga faktor tersebut di atas
akan berdampak pada kualitas hutan. Kebakaran misalnya akan berdampak pada kualitas fisik
karena pemadatan yang mungkin terjadi, kualitas kimia karena unsur hara berpotensi mengalami
penguapan sedangkan masukan seresah tidak ada, dan kualitas biologi karena kelimpahan
organisme baik di atas maupun di dalam tanah menurun. Namun, tindakan pencegahan sulit untuk
dilakukan karena faktor yang menyebabkan adalah faktor alam. Sebagai contoh erosi dan longsor
yang diakibatkan kelerangan yang curam dan curah hujan tinggi. Selama hutan masih
dibiarkan alami, erosi dan longsor yang terjadi tidak memerlukan penanganan karena hutan akan
memperbaiki dirinya sendiri. Lain halnya dengan kebakaran hutan yang seringkali
terjadi di tanah gambut. Kebakaran terjadi karena gambut kering diakibatkan
suhu yang tinggi. Maka, kebakaran gambut dapat dicegah dengan menjaga vegetasi
di atasnya agar tanah terjaga kelembabannya. Apabila gambut sudah terbakar,
sebenarnya akan muncul suksesi baru secara alami meskipun membutuhkan waktu.
Tentu saja harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi alih fungsi hutan pasca
kebakaran.
2. Degradasi pada lahan pertanian
Degradasi pada lahan pertanian
dapat terjadi secara fisik, kimia dan biologi. Degradasi pada lahan pertanian
dapat disebabkan oleh faktor alam, namun sebagian besar disebabkan oleh
aktivitas manusia. Berikut adalah macam-macam degradasi pada lahan pertanian.
a. Erosi
Erosi merupakan
proses penghancuran tanah yang diikuti oleh translokasi dan pengendapan tanah
dan material yang dikandungnya di tempat yang lebih rendah. Erosi sering
menjadi masalah bagi lahan-lahan pertanian khususnya lahan pertanian yang
berlereng. Erosi dapat terjadi karena curah hujan yang tinggi, struktur tanah
yang tidak mantab, lereng, vegetasi, dan pengolahan. Kebanyakan kasus erosi
yang terjadi dewasa ini dipengaruhi oleh faktor pengolahan yang tidak sesuai
dengan daya dukung lahan. Sebagai contoh lahan berlereng yang dijadikan lahan
pertanian namun tidak dibuat bangunan konservasi seperti teras.
Erosi dapat menyebabkan degradasi lahan karena hilangnya tanah lapisan atas
yang relatif subur. Tanah lapisan atas yang dipindahkan turut membawa material
yang terkandung di dalamnya, seperti bahan organik dan unsur hara. Hal tersebut
menyebabkan menurunnya kesuburan tanah. Secara fisik, hilangnya tanah lapisan
atas berpengaruh pada ketebalan solum tanah yang berpengaruh terhadap tunjangan
mekanik terhadap akar. Secara biologi, mikroorganisme kehilangan lingkungan
hidup sehingga kelimpahannya dapat menurun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widianto et al, hutan yang dibuka
untuk lahan pertanian kopi monokultur mengalami limpasan permukaan 124 mm jauh
lebih tinggi daripada hutan alami yang hanya 24 mm. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pertanian relatif rawan mengalami degradasi lahan akibat erosi.
b. Longsor
Sama
halnya dengan longsor yang terjadi di hutan, longsor yang terjadi di lahan
pertanian juga menyebabkan degradasi lahan bahkan berdampak kompleks, tidak
hanya bagi kualitas lahan namun juga perekonomian petani. Berbeda dengan hutan,
longsor yang terjadi di lahan pertanian cenderung diakibatkan oleh aktivitas
manusia, antara lain hilangnya penutupan vegetasi karena vegetasi alami hutan
diganti dengan vegetasi tanaman budidaya, lahan digunakan tanpa memperhatikan
daya dukung lahan serta perubahan kemiringan lereng yang tidak sesuai dengan
kaidah konservasi.
Longsor menyebabkan degradasi lahan karena perpindahan material ke bagian yang
lebih rendah. Berpindahnya material tersebut turut membawa kesuburan yang
dimilikinya. Akibatnya, lokasi asal mengalami penurunan kesuburan tanah.
c. Pencemaran agrokimia
Penggunaan agrokimia (pupuk
dan pestisida) yang tidak tepat dapat menyebabkan degradasi lahan. Dampak
penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air, tanah, dan hasil
pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunya keanekaragaman hayati, ketidak
berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk kimia dan dalam menentukan
komoditas yang akan ditanam.
Dampak
penggunaan pupuk terhadap tanah antara lain penurunan pH tanah karena sebagian
besar pupuk buatan mengandung sulfur. Selain itu, apabila pupuk yang mengandung
satu unsur hara diberikan dalam jumlah yang berlebih dapat mengganggu keseimbangan
unsur hara dalam koloid tanah, akibatnya unsur hara lain menjadi tidak
tersedia. Secara fisik, pemberian pupuk dapat menyebabkan flokulasi atau
dispersi yang menyebabkan rusaknya agregat tanah. Secara biologi, keadaan tanah
yang tidak menguntungkan bagi lingkungan hidup organisme akan menyebabkan
kelimpahan organisme menurun yang berdampak pada sifat tanah yang lain.
Dampak
pestisida terhadap tanah terkait dengan residu yang menjadi pencemar baik bagi
tanah maupun air. Pestisida seringkali mengandung logam berat yang bersifat
toksik bagi tanaman dan pencemar bagi tanah dan air.
Untuk memperbaiki kualitas tanah yang telah menurun baik secara fisik, kimia,
dan biologi dapat dilakukan upaya rehabilitasi lahan. Berbagai bentuk
rehabilitasi lahan yang dapat dilakukan antara lain:
o
Memilih sistem pertanian agroforestry. Pemilihan sistem
agroforestri dilakukan untuk mendapatkan fungsi yang serupa dengan hutan. Hal
tersebut penting untuk mendapatkan siklus yang seimbang, baik siklus hara,
siklus karbon, maupun siklus hidrologi. Dengan demikian, kesuburan tanah dapat
dijaga dengan sistem agroforestri.
Selain itu, sistem multistrata dapat melindungi tanah dari pukulan air hujan
karena air hujan terintersepsi pada tajuk-tajuk tanaman. Hal tersebut dapat
melindungi tanah dari erosi.
o Melakukan
teknik penanggulangan erosi dan longsor secara vegetatif dan mekanik
Untuk menanggulangi longsor secara vegetatif dapat dibuat dengan menanam pohon.
Karena pohon dapat berfungsi untuk intersepsi hujan, seresah melindungi permukaan
tanah dari pukulan air hujan secara langsung, menyalurkan air ke daerah
perakaran dan merembeskannya ke lapisan yang lebih dalam serta melepasnya
secara perlahan-lahan. Pemilihan tanaman untuk konservasi harus diperhatikan
kemampuan adaptasi dengan lingkungan setempat, relatif cepat tumbuh, serta
memiliki perakaran yang dalam dan rapat. Selain
menanam pohon konservasi tanah vegetatif juga dapat dilakukan dengan menanam
semak. Semak berfungsi untuk intersepsi air hujan strata/ lapisan kedua setelah
pohon sehingga energi pukulan air hujan semakin kecil. Untuk intersepsi strata/
lapisan ketiga dapat ditanam rumput. Selain intersepsi hujan, rumput juga
berfungsi dengan menghasilkan eksudat akar sebagai perekat agregat tanah.
Konservasi tanah dan air secara mekanik dapat dilakukan dengan membuat
terasering pada lahan berlereng, membuat saluran drainase, bangunan penahan
material longsor, serta dam pengendali. Terasering dimaksudkan untuk
memanipulasi kelerengan. Saluran drainase yang dapat dibuat antara lain saluran
pengelak yang berfungsi untuk mencegah masuknya aliran permukaan dari daerah di
atasnya ke daerah di bawahnya yang rawan longsor. Ada pula saluran pembuangan
air yang berfungsi untuk menampung dan membuang air dari saluran pengelak dan
saluran teras ke sungai atau tempat penampungan lainnya tanpa menyebabkan
erosi. Selain itu, ada pula bangunan terjunan yang berfungsi mengurangi
kecepatan aliran air sehingga tidak merusak dan memperpendek panjang lereng
untuk memperkecil erosi.
Untuk konservasi mekanik lainnya dapat dibuat bangunan penahan longsor, antara
lain bronjong dan bangunan penguat tebing. Bronjong dapat dibuat dari bambu
maupun batu yang berfungsi untuk penahan material longsor. Sedangkan bangunan
penguat tebing dibuat dengan tujuan menahan longsoran tanah pada tebing yang
sangat curam.
Bangunan terakhir untuk konservasi secara mekanik adalah dam pengendali. Dam
pengendali dapat dibuat secara permanen dan disusun dari batuan lepas. Dam
pengendali merupakan cara terkhir dalam konservasi secara mekanik karena
bangunan ini membutuhkan biaya yang mahal.
o
Menambahkan bahan organik
Penambahan bahan organik sangat penting dilakukan mengingat bahan organik
memiliki fungsi yang kompleks yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah. Secara fisik bahan organik mampu mereduksi pemadatan tanah
khususnya yang bertekstur liat akibat kelebihan kapur. Hal tersebut karena
bahan organik memiliki sifat yang dapat memperbaiki agregat tanah sehingga
mempengaruhi kemantapan agregat dan porositas tanah. Pada dasarnya hubungan
bahan organik dengan liat sangat kompleks tidak hanya menyangkut sifat fisik
tetapi juga kimia dan biologi. Hal ini karena asam humat dan fulvic dan
polimernya dijerap di permukaan mineral oleh grup fungsional, yang paling penting
adalah karboksil (-COOH) dan karbonil (-C=O), hidroksil (-OH), amino (=NH), dan
amina (-NH2). Banyak polimer tersebut yang berikatan dengan hidrogen, yang juga
berfungsi sebagai agen pengikat antar mineral. Hal tersebut yang menyebabkan
bahan organik mampu menstabilkan agergat.
Secara kimia, bahan organik memiliki muatan negatif (-), yang memungkinkan
mengikat basa-basa yang bermuatan positif (+) agar tidak ikut tercuci. Selain
itu, bahan organik dapat bertindak sebagai buffer pH yang dapat mengikat Al3+
dan Fe3+ pada tanah masam dan mengikat Ca2+ dan Mg2+ pada tanah basa sehingga
dapat menjaga keseimbangan reaksi koloid tanah.
Secara umum Pemberian bahan organik jerami dapat memperbaiki sifat-sifat tanah,
yaitu meningkatkan aktivitas mikroba, meningkatkan pH H20, meningkatkan selisih
pH, meningkatkan pH NaF (mendorong pembentukan bahan anoganik tanah yang
bersifat amorf), meningkatkan pH 8,2 atau KTK variabel yang tergantung pH,
menurunkan Aldd dan meningkatkan C-organik tanah. Penurunan Aldd selain disebabkan
oleh kenaikan pH dan pengikatan oleh bahan-bahan tanah bermuatan negatif, juga
disebabkan karena pengkhelatan senyawa humit. Peranan asam fulvik dalam
mengkhelat Al jauh lebih tinggi dibandingkan asam humik sekitar tiga kalinya.
o
Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan, perusakan atau pencemaran tanah dengan
menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk
memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau
tidak beracun (karbondioksida dan air). Teknik dasar yang biasanya digunakan
dalam bioremediasi antara lain: stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di
lokasi tercemar) dengan penambahan nutrient, pengaturan kondisi redoks,
optimasi pH, dan sebagainya; inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi
tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus;
penerapan immobilized enzymes; serta penggunaan tanaman (phytoremediation).
Uraian tersebut di atas merupakan
degradasi lahan yang terjadi di lahan pertanian. Namun, dewasa ini pertanian
sendiri mengalami degradasi multifungsi pertanian. Degradasi tersebut seiring
dengan menurunnya kualitas lahan pertanian dan desakan ekonomi petani. Proses
degradasi multifungsi pertanian yang paling signifikan adalah konversi lahan
pertanian karena proses ini menghilangkan semua fungsi pertanian bersama
hilangnya lahan pertanian itu sendiri. Padahal fungsi pertanian sangat kompleks
antara lain penghasil produk pertanian, pemelihara pasokan air tanah, berperan
dalam mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, penambat gas karbon, penyegar
udara, pendaur ulang sampah organic, dan pemelihara keanekaragaman hayati.
Konversi lahan pertanian yang paling umum adalah dengan pembangunan, baik
pembangunan perumahan, industry, bahkan sarana pendidikan. Menurut Winoto
(2005), ancaman konversi lahan sawah teririgasi di Indonesia sebesar 42,40%.
Hal tersebut tentu saja mengancam multifungsi pertanian, khususnya ketahanan
pangan mengingat pertumbuhan masyarakat di Indonesia semakin tinggi tetapi luas
lahan pertanian semakin menurun. Meskipun multifungsi lahan pertanian perlu
dijaga dengan menjaga keberadaan lahan pertanian itu sendiri, namun terdapat
permasalahan yang umum terjadi, yaitu rendahnnya apresiasi terhadap pertanian.
Meskipun sector pertanian memegang peranan yang penting bagi keberanjutan
kehidupan manusia, namun masyarakat cenderung berfikir bahwa sector industry
dan perdagangan lebih menguntungkan daripada pertanian sehingga tidak menaruh
simpati terhadap pertanian. Pertanian diidentikkan dengan kemiskinan, petani
identik dengan dengan miskin dan kotor sedangkan pengusaha property identik
dengan kaya. Hal tersebut yang mendorong konversi lahan pertanian semakin
meluas. Lahan pertanian kemudian semakin terdesak ke lahan-lahan marginal yang tidak
sesuai dengan daya dukungnya. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya erosi
dan longsor serta degradasi lahan yang lebih meluas.
Konversi lahan pertanian ini tidak
dapat diatasi secara sepihak, namun membutuhkan integrasi semua pihak dari
semua pemegang kebijakan. Hal ini untuk mengatur tata guna lahan agar
multifungsi pertanian dapat dipertahankan tanpa menyepelekan kepentingan
industry dan perekonomian yang lain. Karena bagaimanapun lahan pertanian
bukanlah warisan nenek moyang yang patut dinikmati, melainkan titipan untuk
masa depan generasi berikutnya.
Strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi degradasi lahan pertanian
karena konversi lahan pertanian adalah meningkatkan citra pertanian dan petani,
bahwa pertanian tidak sama dengan kemiskinan; mengubah kebijakan produk
pertanian harga murah; meningkatkan apresiasi terhadap multifungsi pertanian;
meningkatkan upaya konservasi pertanian; kerjasama antar lembaga untuk
mempertahankan lahan pertanian.
3. Degradasi pada lahan pertambangan
Seperti halnya pada lahan pertanian, degradasi pada lahan pertambangan dapat
terjadi secara fisik, kimia, dan biologi. Seringkali degradasi pada lahan
pertambangan juga menyebabkan kerugian bagi manusia berupa gangguan kesehatan.
Adapun macam-macam degradasi pada lahan pertambangan antara lain:
a. Tanah bekas galian
Kegiatan penambangan seringkali dilakukan dengan menggali tanah hingga
kedalaman tertentu dan mengangkut tanah yang diduga mengandung bahan tambang.
Kegiatan ini akan menghilangkan tanah lapisan atas yang subur dan meninggalkan
kubangan di tanah. Hilangnya lapisan tanah akan mempengaruhi ketebalan solum
tanah. Selain itu, lubang-lubang yang ditinggalkan dapat terisi air ketika
musim penghujan dan menyebabkan tanah mengalami reduksi yang teru menerus. Hal
tersebut dapat mengakibatkan kemasaman tanah.
b. Limbah
Degradasi pada lahan pertambangan yang terpenting adalah limbah. Limbah
pertambangan (tailing) seringkali mengandung logam berat yang berbahaya,
seperti raksa, timbal, dan lain sebagainya. Tailing hasil penambangan emas
biasanya mengandung mineral inert (tidak aktif). Mineral tersebut antara lain:
kwarsa, kalsit dan berbagai jenis aluminosilikat. Tailing hasil penambangan
emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun seperti Arsen (As),
Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Sianida (CN) dan lainnya. Sebagian
logam-logam yang berada dalam tailing adalah logam berat yang masuk dalam
kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Pada awalnya, logam yang
terpendam dalam perut bumi tidak berbahaya. Ketika kegiatan penambangan
terjadi, logam-logam berat tersebut ikut terangkat bersama batu-batuan yang
digali. Logam-logam itu berubah menjadi ancaman ketika terurai di alam bersama
tailing yang dibuang.
Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat didegradasi
maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh manusia lewat
makanan, air minum, atau melalui udara. Logam-logam berat seperti tembaga,
selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk membantu kinerja metabolisme
tubuh. Logam-logam tersebut berpotensi menjadi racun jika konsentrasi dalam
tubuh tinggi. Disebut logam berat berbahaya karena umumnya memiliki rapat massa
tinggi dan sejumlah konsentrasi kecil dapat bersifat racun dan berbahaya. Yang
termasuk golongan logam berat adalah seluruh elemen logam kimia. Merkuri atau
raksa (Hg), kadmium (Cd), arsen (As), kromium (Cr), talium (Tl), dan timbal
(Pb) adalah beberapa contoh logam berat berbahaya.
Logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi. Bioakumulasi
berarti peningkatan konsentrasi unsur kimia tersebut dalam tubuh makhluk hidup
sesuai piramida makanan. Akumulasi atau peningkatan konsentrasi logam berat di
alam mengakibatkan konsentrasi logam berat di tubuh manusia adalah tertinggi. Jumlah
yang terakumulasi setara dengan jumlah logam berat yang tersimpan dalam tubuh
ditambah jumlah yang diambil dari makanan, minuman, atau udara yang terhirup.
Jumlah logam berat yang terakumulasi lebih cepat dibandingkan dengan jumlah
yang terekskresi dan terdegradasi.
Untuk
mengurangi degradasi lahan tambang terutama yang disebabkan karena limbah dapat
dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah fitoremediasi.
Fitoremediasi adalah sistem dimana tanaman tertentu bekerjasama dengan
mikroorganisme di dalam media (tanah, koral, air) dapat mengubah zat kontaminan
menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara
ekonomi. Proses dalam sistem ini berlangsung secara alami dengan 6 tahap,
yaitu:
§ Phytoacumulation
(phytoextraction), yaitu proses dimana tumbuhan menarik zat kontaminan hingga
terakumuloasi di sekitar akar.
§ Rhizofiltration,
yaitu proses adsorbsi zat kontaminan oleh akar agar menempel di akar tanaman.
§ Phytostabilization,
yaitu penempelan zat-zat tertentu ke dalam akar yang tidak mungkin terserap
batang tanaman. Zat tersebut menempel secara stabil di akar sehingga tidak
terserap oleh air.
§ Rhizodegradation,
yaitu proses penguraian zat-zat kontaminan oleh mikroba yang berada di sekitar
akar tanaman.
§ Phytodegradation,
yaitu proses yang dilakuikan tumbuhan untuk menguraiakan zat kontaminan yang
mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya
dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang berguna bagi tumbuhan itu
sendiri.
§ Phytovolatization,
yaitu proses menarik dan transpirasi zat kontaminan dalam bentuk larutan
terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya diuapkan ke
atmosfer.
Saat ini
teknologi fitoremediasi dianggap yang paling baik untuk diterapkan karena
fitoremediasi cukup efektif dan murah untuk mengatasi pencemaran lingkungan
oleh logam berat dan B3 sehingga dapat digunakan untuk remediasi TPA.
Daftar Pustaka
Adimihardja, Abdurrahman. 2006. Strategi Mempertahankan Multifungsi Pertanian
di Indonesia. Dalam Jurnal Litbang Pertanian 25(3) 2006. Balai Penelitian
Tanah. Bogor
Agus, Fahmuddin et al. 2002. Pilihan Teknologi Agroforestri/ Konservasi Tanah
untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. ICRAF-SEA.
Bogor
Anonymous. 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Pengendalian Longsor. Departemen
Pertanian
Anonymous. 2012. Degradasi Lahan. Dalamhttp://lasonearth.wordpress.com/makalah/. Tanggal
akses 27 Januari 2012
Anonymous. 2012. Soil Organic Matter. Available athttp://www.soils.wisc.edu/courses/SS325.htm. Tanggal
akses 30 Januari 2012
Arsyad, Sitanala. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor
Widianto et al. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi
Hidrologis Hutan dapat Digantikan Kopi Monokultur?. ICRAF-SEA. Bogor
Wongsoatmojo, Suntoro. 2006. Dampak Kegiatan Pembangunan terhadap Degradasi
Lahan Pertanian. Dalam Prospect Edisi Februari 2006 Tahun 2, Nomor 2.
Wongsoatmojo, Suntoro. 2006. Degradasi Lahan dan Ancaman bagi Pertanian. Dalam
Solo Pos edisi 7 November 2006
(http://novakusuma.wordpress.com/2012/04/06/degradasi-lahan/)
0 komentar:
Posting Komentar