rumah adat indonesia


indonesia memiliki kekayaan budaya salah satunya dalam bentuk rumah adat. indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak sekali suku dan dari suku-suku tersebut memiliki rumah adat masing. tiap rumah ada memiliki kepercayaan dan filosofi dibalik bentuknya yang unik. berikut beberapa diantaranya


1. Rumah Adat Mbaru Niang di Waerebo, NTT


UNESCO memberikan penghargaan tertinggi (Award of Excellence) untuk rumah adat Mbaru Niang yang ada di Desa Wae Rebo, Kabupaten Mangarai, Flores Nusa Tenggara Timur.
Desember 2011, sebuah buku berjudul “Pesan dari Wae Rebo”,  teronggok di sudut salah satu rak obral dalam pameran buku nasional di Jakarta.  Di dalamnya, banyak kisah tentang arsitektur rumah adat di dusun Wae Rebo. Tentang bagaimana rumah menjadi bagian dari pelestarian warga setempat atas adat yang mereka pegang teguh dari leluhurnya
Karena tidak mengenal kultur berperang, warga lokal Wae Rebo relatif ramah dan bersahabat dengan pelancong. Mereka memang mengasingkan diri, tapi terbuka kepada tamu yang datang berkunjung. Poin ini mungkin akan sedikit menghilangkan ketegangan pelancong yang ingin mengalami kehidupan singkat di antara masyarakat yang masih teguh memegang adat istiadat.


2. Rumah Adat Minang


 Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun demikian tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.

3. Rumah Adat Toraja


Bayangkan bahwa rumah adat ini dibangun dengan konstruksi yang terbuat dari kayu tanpa menggunakan unsur logam sama sekali seperti paku. Anda akan lebih terkagum-kagum setelah mengetahui filosofi di balik rumah adat ini. Ada kepercayaan, kebanggaan, tradisi kuno, dan peradaban dari setiap detail rumah tongkonan yang dibangun masyarakat Toraja. Jadi tidak bisa sembarangan membangun rumah adat ini.
Inilah salah satu bentuk kearifan lokal yang mengagumkan dari sebuah rumah adat Nusantara. Tongkonan adalah rumah khas masyarakat Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Hingga saat ini rumah unik tersebut bersama budaya Tana Toraja lainnya menjadi daya tarik wisata dan terus-menerus diminati pelancong
Tongkonan adalah rumah adat dengan ciri rumah panggung dari kayu dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atapnya rumah tongkonan dilapisi ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu telungkup dengan buritan. Ada juga yang mengatakan bentuknya seperti tanduk kerbau. Sekilas mirip bangunan rumah gadang  di Minangatau Batak.
Masyarakat Toraja menganggap rumah tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi) sebagai bapak. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi tiga bagian, yaitu bagian utara, tengah, dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut tangalok yang berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, serta tempat meletakkan sesaji. Ruangan sebelah selatan disebut sumbung, merupakan ruangan untuk kepala keluarga tetapi juga dianggap sebagai sumber penyakit. Ruangan bagian tengah disebut Sali yang berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang mati.
Lumbung padi tersebut tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari  yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.

Ada beberapa jenis rumah adat togkonan, antara lain  tongkonan layuk (pesio'aluk),  yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan. Tongkonan pekaindoran (pekamberan atau kaparengngesan), yaitu berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat. Ada juga batu a'riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta membina warisan.
Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman.
Menurut cerita masyarakat setempat bahwa tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga.Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun tongkonan. Selain itu, rumah adat tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh

marga suku Toraja.Rumah tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya. Setiap bagian tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja.
Rumah adat tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman.
  
Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tongkin, Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli Sulawesi Selatan. Kata tana artinya negeri, sedangkan kata toraja berasal dua kata yaitu tau (orang)dan maraya (orang besar atau bangsawan). Kemudian penggabungan kata-kata tesebut bermakna tempat bermukimnya suku Toraja atau berikutnya dikenal sebagai Tana Toraja.
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja karena ritual adat terkait tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual mereka dengan leluhur. Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur.

Tongkonan berasal dari kata tongkon yang bermakna menduduki atau tempat duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkumpulnya bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Awalnya merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. 


Ada nuansa unik dari rumah tongkonan yang luar biasa sekaligus sarat makna. Perhatikan seksama bagaimana tumbuhan hijau merajalela ada di atas atapnya justru memperindah tampilan rumah adat ini.

Mayat orang mati masyarakat Toraja tidak langsung dikuburkan tetapi disimpan di rumah tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan membusuk maka dibalsem dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang. Sebelum upacara penguburan, mayat tersebut dianggap sebagai ‘orang sakit‘ dan akan disimpan dalam peti khusus. Peti mati tradisional Toraja disebut erong yang berbentuk kerbau (laki-laki) dan babi (perempuan). Sementara untuk bangsawan berbentuk rumah adat. Sebelum upacara penguburan, mayat juga terlebih dulu disimpan di alang sura (lumbung padi) selama 3 hari. 


Ukiran khas Toraja bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan). Ukiran tersebut digunakan sebagai dekorasi eksterior maupun interior rumah mereka.


Saat Anda melihat rumah adat ini, ada ciri lain yang menonjol yaitu kepala kerbau menempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah dan menunjukan tingginya derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.    

Ornamen tanduk kerbau di depan tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah saat upacara penguburan anggota keluarganya. Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman akan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut.


Ornamen rumah tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna dasar yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo). Tiap warna yang digunakan melambangkan hal-hal yang berbeda. Warna hitammelambangkan kematian dan kegelapan. Kuning adalah simbol anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah adalah warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Dan, putih adalah warna daging dan tulang yang artinya suci. 


4. Rumah Adat Papua



Honai sejak lama dikenal sebagai rumah tradisional suku Dani di Kabupaten Jayawijaya dan suku-suku asli yang mendiami wilayah pegunungan tengah Papua. Hingga kini, masyarakat di wilayah ini masih membangun honai secara turun temurun sesuai tradisi budaya dan kondisi setempat. Istilah honai berasal dari dua kata, yakni “Hun” yang berarti pria dewasa dan “Ai” yang berarti rumah. Dari klasifikasinya, terdapat dua jenis honai, yakni honai bagi kaum laki-laki dan perempuan.

Secara umum honai merupakan rumah adat tempat bermusyawarah untuk kepentingan mengadakan pesta adat dan perang suku. Honai bagi kaum perempuan disebut “Ebeai,” yang terdiri dari dua kata, yakni “Ebe” atau tubuh dalam pengertian kehadiran tubuh dan “Ai” yang berarti rumah. Nama honai laki-laki dalam bahasa Lani disebut “ap inakunu” dan honai perempuan disebut “kumi inawi.” Orang Lani mempunyai tiga honai, yakni honai bagi kaum laki-laki, honai perempuan dan honai yang dikhususkan untuk memberi makan atau memelihara ternak seperti babi.

Jadi tidak benar jika sejauh ini ada anggapan miring bahwa masyarakat asli di Pegunungan Tengah Papua biasanya tidur bersama ternak babi di dalam honai mereka. Sebab ada honai yang dibangun khusus untuk memelihara babi. Dari modelnya, honai sering dibangun berbentuk bulat dan pada atap bagian atasnya yang berbentuk kerucut atau kubah (dome) di tutup dengan alang-alang. Garis tengah (diameter) mencapai 5 sampai 7 meter, tergantung tujuan pemanfaatannya. Honai bagi kaum perempuan, bentuknya lebih pendek.

Pada ruang bawah honai laki-laki dewasa biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan, diskusi, berdemokrasi,berdialog dan berdebat mengenai perang, kehidupan ekonomi, keamanan daerah, membagi pengalaman dan memikirkan tentang kesinambungan hidup. Selain itu, digunakan pula sebagai tempat penyimpan harta benda, termasuk menyimpan mumi (mayat yang diawetkan) bagi suku Dani, dan fungsi-fungsi lain sesuai kepentingan pemiliknya. Sedangkan pada ruang atas sering digunakan sebagai kamar tidur.
Honai laki-laki biasanya tidak bisa dimasuki (ditempati) oleh kaum perempuan atau orang-orang tertentu. Sebab disinilah tempat berlangsung inisiasi dan pendidikan bagi kaum laki-laki muda yang akan beranjak dewasa. Sedangkan honai bagi kaum perempuan biasanya dikhususkan bagi ibu-ibu, anak-anak perempuan dan anak-anak lelaki yang masih kecil. Seperti honai pria, pada honai perempuan juga akan berlangsung proses pendidikan secara terus-menerus bagi anak-anak perempuan.

Disinilah tempat para ibu mengajarkan hal-hal yang akan dihadapi anak-anak perempuan setelah tiba saatnya untuk menikah atau kawin. Keberadaan honai perempuan bagi anak-anak lelaki yang masih kecil hanya bersifat umum, sehingga setelah mulai beranjak remaja mereka akan berpindah ke honai laki-laki. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan honai biasanya berupa rotan, tali hutan, alang-alang, belahan kayu atau papan yang digunakan sebagai dinding dan kayu khusus untuk tiang penyangga. Tali hutan khusus dan rutan akan digunakan sebagai pengikat.

Tokoh gereja yang juga intelektual Papua asal pegunungan tengah, Pdt. Socratez Sofyan Yoman, dalam bukunya “Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri,” menjelaskan bahwa honai biasanya tidak dibangun pada sembarang tempat atau di tempat terlarang. Misalnya di daerah rawan longsor (bencana), daerah berkebun, kawasan hutan lindung atau tempat lain yang dilarang untuk membangun rumah. Menurutnya, nenek moyang masyarakat di wilayah pegunungan tengah Papua biasanya tidak ceroboh dalam membangun honai.

Karena yang diperhatikan adalah soal aspek keamanan dan resiko yang bakal dihadapi. Dalam membuat honai, posisi pintu biasanya berada pada arah terbit dan terbenamnya matahari. Pintu itu juga berfungsi demi keamanan penghuninya jika ada serangan tiba-tiba dari musuh atau kebakaran. Boleh dibilang bahwa sejak awal honai telah menjadi tempat tinggal tetap bagi nenek moyang suku Dani. Ini kemudian bisa menghambat perpindahan mereka dari satu wilayah ke wilayah lain.

Homese
Honai Menuju Sehat, atau yang dikenal dengan istilah Homese, merupakan hasil inovasi dan terobosan dalam seni arsitektur modern. Konsep Homese ini tidak meninggalkan bentuk, manfaat dan nilai-nilai filosofis honai secara alami. Pengembangannya hanya dengan meningkatkan teknik konstruksi masyarakat lokal. Dengan alasan bahan-bahan baku pembangunan mudah diperoleh di lingkungan sekitar, maka yang diperlukan hanya memberi nilai tambah secara inovatif.

Tata ruang Homese juga memperhatikan kebiasaan aktivitas masyarakat lokal di dalam honai. Namun lebih dari pada itu, pengembangan Homese dimaksudkan agar tercipta perubahan menuju konsep rumah sehat bagi masyarakat asli di wilayah pegunungan tengah Papua. Disamping ada upaya menuju revitalisasi terhadap kawasan-kawasan yang dianggap bernilai historis. Lewat teknik rekayasa sipil, Homese di desain sedemikian rupa sehingga asap bisa keluar melalui cerobong.

Dalam rumah honai tradisional, umumnya tidak memiliki cerobong (saluran) pembuangan asap hasil pembakaran. Inilah masalah terbesar penyebab gangguan kesehatan pernafasan pada masyarakat lokal yang kini masih mempertahankan honai sebagai rumah tinggal. Karena itu pada tahun anggaran 2010 lalu, Pemda Kabupaten Jayawijaya telah membangun puluhan unit rumah Homese di Kampung Waisapu, Wamena Kota. Model honai serupa juga telah dibangun di Kampung Pasema Kabupaten Yahukimo.
Pembangunan tersebut berlangsung atas kerjasama Pemda setempat dengan Satker Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU Provinsi Papua bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman Departemen Pekerjaan Umum RI. Dari sisi teknis desain, pada ruang dalam Homese masih mempertahankan tempat api untuk menghangatkan ruangan dengan menambahkan cerobong hingga ke lantai atas. Ini agar tercipta sirkulasi udara yang sehat. Disamping suhu hangat dalam honai juga terjaga.

Maklumlah, wilayah pegunungan tengah Papua yang umumnya bersuhu rendah (dingin), telah mempengaruhi proses pembuatan honai harus memperhatikan aspek kenyamanan. Sedangkan pada bagian lain Homese seperti bentuk atap, masih tetap mempertahankan konsep awal. Bagian atap honai berbentuk kubah (dome) itu kini menjadi ikon di mana-mana. Taman Mini Indonesia (TMI) di Jakarta yang dibangun sejak jaman orde baru misalnya, dalam stand Irian Jaya (Papua) juga menjadikan model honai sebagai ikon tersendiri.
Konon, rancangan konstruksi pasar Papua 6 lantai yang akan dibangun khusus bagi seniman dan pedagang asli Papua di tengah Kota jayapura juga mengadopsi bentuk atap honai. Padahal sejak awal honai hanya dibangun pada suatu dusun atau perkampungan. Sangat mengesankan bila melihat perkampungan di wilayah pedalaman Jayawijaya dari atas sebuah bukit. Disini akan tampak rumah-rumah adat honai berdiri dengan halaman yang dikelilingi pagar kayu berhias rerumputan kering.

Honai memang memiliki nilai filosofis yang mendalam. Sebab pada rumah tradisional inilah tempat generasi awal masyarakat pegunungan tengah Papua dilahirkan dan dibesarkan. Honai juga menjadi tempat belajar mengenai arti kehidupan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitar maupun dengan sang pencipta. Jadi tentu tidak ada kata lain lagi, keunikan honai patut dijaga agar tidak cepat tergerus perkembangan zaman








0 komentar:



Posting Komentar